Foto: ilustrasi
Pontianak, Kalbar. – Setyakitapancasila.com Sejumlah warga Kota Pontianak mengungkapkan keprihatinan atas kenaikan nilai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dinilai tidak proporsional dan memberatkan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Keluhan ini muncul seiring dengan meningkatnya proses balik nama dan transaksi jual-beli properti yang dikenai nilai pajak jauh melampaui nilai transaksi riil.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan keterkejutannya ketika mengetahui besaran pajak yang dikenakan dalam proses transaksi tersebut. Ia mengungkapkan bahwa nilai transaksi yang disepakati antara pihak pembeli dan penjual jauh lebih rendah daripada Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang dijadikan dasar pengenaan BPHTB oleh otoritas pajak daerah.
“Nilai transaksi kami sebenarnya rendah, tapi tagihan BPHTB justru sangat tinggi. Kami bingung, apakah tidak ada ruang dispensasi atau mekanisme koreksi? Ini sangat menyulitkan masyarakat kecil,” ujarnya kepada tim media.
BPHTB secara regulatif memang dihitung berdasarkan NPOP. Namun, warga menyoroti adanya ketimpangan antara nilai transaksi aktual di lapangan dengan angka yang ditetapkan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Pontianak. Ketimpangan ini mencerminkan kurangnya transparansi dalam penentuan kebijakan fiskal yang berdampak langsung pada masyarakat.
Tuntutan Evaluasi dan Mekanisme Keberatan yang Jelas
Masyarakat mendesak Pemerintah Kota Pontianak untuk segera melakukan evaluasi terhadap mekanisme penetapan BPHTB. Mereka juga menyoroti minimnya akses terhadap mekanisme keberatan yang dapat digunakan oleh warga apabila merasa dirugikan oleh penilaian pajak yang dianggap tidak sesuai realitas.
“Kami ingin tahu: dasar hukumnya apa? Apakah tidak ada Peraturan Wali Kota terbaru yang bisa digunakan sebagai dasar pemberian insentif atau pengurangan BPHTB?” ungkap seorang warga yang sedang memproses pengalihan hak atas tanah dalam bentuk hibah keluarga.
Penggunaan Perwa Tahun Lalu Dinilai Sudah Tidak Relevan
Kekhawatiran masyarakat semakin meningkat ketika diketahui bahwa Pemerintah Kota Pontianak masih menggunakan Peraturan Wali Kota (Perwa) No. 33 Tahun 2024 sebagai dasar penetapan kebijakan fiskal di tahun 2025. Padahal, dinamika nilai tanah serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat telah mengalami perubahan yang signifikan, sehingga penggunaan Perwa tahun sebelumnya dianggap tidak lagi relevan dan berisiko menimbulkan ketimpangan.
Lebih jauh, beberapa sumber menyebut bahwa kebijakan fiskal daerah seolah lebih banyak ditentukan oleh keputusan internal di Bapenda ketimbang berdasarkan regulasi resmi yang tertuang dalam Perwa. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi serta akuntabilitas dalam pengambilan keputusan fiskal di tingkat daerah.
Dampak Berganda: Kenaikan BPHTB Disusul Kenaikan PBB
Selain BPHTB, warga juga mengeluhkan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang secara otomatis berimbas pada peningkatan beban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahunan. Penetapan NJOP yang dianggap terlalu tinggi, terutama jika tidak disertai survei lapangan dan kajian pasar yang objektif, menimbulkan beban ganda bagi masyarakat.
Sejumlah akademisi dan pengamat kebijakan publik mengingatkan bahwa ketidakseimbangan dalam penetapan nilai pajak dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah serta memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi antar warga.
Dorongan Implementasi Perwa No. 11 Tahun 2025
Masyarakat mendesak Pemerintah Kota Pontianak agar segera menerapkan Peraturan Wali Kota (Perwa) No. 11 Tahun 2025 tentang Pemberian Insentif Fiskal Daerah. Peraturan ini, yang telah diterapkan di beberapa daerah lain, membuka ruang bagi pemberian pengurangan atau pembebasan BPHTB berdasarkan kemampuan membayar, status sosial-ekonomi, serta kondisi khusus lainnya.
Melalui kebijakan ini, warga berpenghasilan rendah (MBR), pensiunan ASN, penerima hibah/waris, hingga pelaku usaha yang terdampak krisis, dapat mengajukan permohonan keringanan pajak dengan mekanisme yang jelas dan terukur. Keberadaan sistem insentif yang transparan dan berkeadilan diharapkan mampu menurunkan beban fiskal masyarakat serta mendorong kepercayaan terhadap sistem perpajakan daerah yang akuntabel dan inklusif.(Tim)
Editor : Egha